• Kabar

    01 Februari 2015

    Kisah Lia Ridwan Kamil, Jadi Ibu bagi Warga Bandung (1)

    Tabloidnova.com - Sempat keberatan sang suami menjadi walikota Bandung, kini Atalia mendukung penuh kiprah suaminya. Sebagai istri walikota Bandung, Ridwan Kamil, ia sangat aktif berinteraksi dan berkegiatan dengan masyarakat. Namun, baginya, anak-anak dan suami adalah pengabdian utamanya.

    Cantik, bertutur kata halus, hangat, dan berwawasan luas. Itulah gambaran tentang Atalia Praratya , istri walikota Bandung, Ridwan Kamil, ketika NOVA berbincang dengannya beberapa waktu lalu. Selama ini, publik lebih mengenal sang suami ketimbang ibu dua anak ini. Padahal, kegiatan Lia, sapaan akrabnya, sejak sebelum menjadi istri walikota juga padat. Dulu, Lia dikenal sebagai MC dan pembawa acara salah satu teve lokal di Bandung. Ia juga komisaris di PT Urbane Indonesia, perusahaan arsitektur yang didirikan suaminya, bahkan hingga sekarang.


    Kang Emil, menurutnya, memberikan keleluasaan padanya untuk berkiprah di luar rumah. Demikian pula sebaliknya, Lia mendukung karier suami, meski semula sempat tak setuju saat sang suami minta izin untuk maju dalam pencalonan walikota Bandung. Ia merasa nama sang suami di dunia arsitek sudah dikenal di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Amerika, Singapura, Tiongkok, dan Timur Tengah. Secara finansial, ia merasa hidupnya bersama suami dan kedua anak mereka, Emmeril Kahn Mumtadz (15) dan Camillia Laetitia Azzahra (10) juga berkecukupan.

    “Saya pikir, apa lagi yang dicari dalam hidup? Yang penting, kan, hidup tenang. Mengapa harus masuk ke dunia politik? Kalau ingin memberi banyak manfaat pada masyarakat, tak harus lewat politik,” ujar Lia yang bersama suaminya memang aktif di masyarakat.

    Lia aktif dalam komunitas Cipta Dewi dan Bandung Berkebun, sedangkan Emil terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi dan komunitas. Baginya, itu sudah cukup. Namun, Emil memberi Lia pemahaman bahwa sudah saatnya tak hanya memikirkan diri sendiri.

    Emil lantas mengajak istrinya ke berbagai wilayah di Bandung untuk langsung bertemu warga. Mendengar curhat dan melihat tangisan warga, hati Lia trenyuh. “Oh, ini ternyata yang diperjuangkan Kang Emil,” tutur Lia yang langsung berniat dengan bismillah , mendukung suaminya 100 persen.

    Setelah sekian lama menolak, hari itu ia jadi orang terakhir yang memberi restu pada Emil untuk menjadi calon walikota, beberapa bulan sebelum kampanye dimulai. “Saya mengizinkan suami sebagai bentuk pengabdian padanya. Sebab, ia ingin mengabdi untuk masyarakat Bandung.”

    Suka Bertemu Warga

    Lia membuktikan dukungannya. Saat kampanye, ia, suaminya, bersama calon wakil walikota yang dipasangkan dengan Emil yaitu Oded Muhammad Danial serta istrinya, Siti Muntamah, masing-masing berkampanye di empat tempat berbeda. Setelah sang suami jadi walikota, kegiatan Lia makin padat karena ia mengabdikan hidupnya untuk warga. Sebagai istri walikota, selain menghadiri acara seremonial, Lia antara lain juga aktif sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Bandung, Ketua Dekranasda Bandung.

    “Dulu yang diurus hanya keluarga sendiri, sekarang tanggung jawabnya meliputi keluarga orang lain juga. Namun, ini menjadi kebahagiaan saya tersendiri karena bisa menyentuh warga secara langsung. Saya kurang suka acara seremonial. Kalau ketemu warga, biasanya, saya minta agar tak sungkan berkeluh kesah pada saya. Atau, saya minta mereka mendoakan Kang Emil,” ujarnya.

    Kesibukannya terkadang membuat Lia lupa. “Kalau saya sudah terlalu sibuk, Kang Emil biasanya akan mengingatkan secara halus, ‘Teteh (panggilan sayang Emil untuk Lia), mau bertukar posisi?’ Mendengar itu, saya langsung jleb, sakitnya tuh di sini,” ujar Lia menunjuk dada, lalu terbahak.

    Meski sibuk, Lia tetap fokus pada anak-anak. Kalau tak ada kegiatan yang sangat penting, Lia memilih berada di rumah untuk menemani anak-anaknya belajar. Ia paham benar, kegiatan Kang Emil sangat padat. Di tengah kesibukan, mereka menetapkan Minggu sore sampai malam sebagai jam keluarga. “Itulah waktu untuk ayah dan anak. Biasanya kami berenang, nonton, atau makan bersama. Kami juga mengusahakan bisa salat subuh dan maghrib berjamaah,” ujar Lia yang rela melepaskan pekerjaanya sebagai MC dan pembawa acara teve.

    Tak Suka Dandan

    Mulanya, Lia mengira menjadi istri walikota bisa dilakukan cukup dengan duduk manis saja. “Ternyata, kok, saya jadi sibuk banget? Dalam sehari bisa menghadiri tujuh agenda. Pergi pagi pulang sore, bahkan libur juga enggak ada. Sampai-sampai saya merasa, kok, begini amat, ya, jadi istri walikota. Capek banget. Namun, karena sejak awal diniati untuk lebih bermanfaat bagi banyak orang, ya, jalani saja,” ujar Lia yang sempat kaget dengan perubahan itu.

    Seperti suami, Lia juga aktif di media sosial dan memanfaatkannya untuk mengetahui persoalan masyarakat. Keluhan maupun sapaan warga lewat akun Twitter miliknya maupun e-mail ia balas dengan senang hati. Biasanya warga curhat mengenai berbagai hal, mulai dari masalah perkotaan sampai putus cinta. “Saya harus memosisikan diri sebagai ibunya kota Bandung, jadi enggak boleh ada jarak dengan warga,” tandasnya.

    Keluhan warga membuatnya makin paham persoalan masyarakat. “Namun, makin banyak tahu, saya jadi makin galau. Kok, banyak banget, ya, masalah perkotaan. Saya jadi bingung, terlalu banyak yang ingin saya lakukan,” ujarnya.

    Menjadi istri walikota tak membuat Lia berlebihan. Ia tetap tampil sederhana. Apalagi, ia memang tak suka berbelanja. Hanya saja, Lia yang dulu terkesan cuek, kini berbusana rapi meski tetap kasual. “Saya lebih senang mengenakan celana panjang dan pakaian kasual saat mendatangi warga. Saya juga relatif lebih banyak menjahitkan baju karena kebutuhan. Kan, enggak mungkin bajunya itu-itu terus,” ujar Lia.

    Ada lagi perbedaan Lia. Ia kini berdandan, suatu hal yang dulu jarang ia lakukan. “Kang Emil senang saya berdandan, jadi saya ikuti. Kang Emil itu orangnya visual banget, apalagi dia, kan, arsitek. Kang Emil juga rajin mengingatkan kalau tubuh saya mulai melar. Ia jadi alarm saya.”

    Merintis dari Nol

    Lia bersyukur, semua kegiatannya dulu, termasuk kursus public speaking , kecantikan, dan menari, kini ternyata berguna. “Tidak ada yang sia-sia. Itu yang saya sering katakan pada anak-anak muda untuk tidak merasa sia-sia, selama yang mereka lakukan positif,” ujar Lia yang juga rela menurunkan ego dan menghapus mimpinya sebagai diplomat dan entertainer.

    Padahal, lulusan Hubungan Internasional di Universitas Parahyangan ini sudah “dipesan” untuk bekerja di konsulat Indonesia di Afrika Selatan setelah lulus. Namun, ia tak menyambutnya karena menikah. “Suami minta kami menjadi tim yang kompak. Kami merintis kehidupan dari nol. Saya ingat saat menemaninya merintis karier di New York. Pertama kali pindah ke sana, kami hanya punya satu panci,” ujar Lia.

    Saat itu, Lia dan Emil tinggal di lingkungan rumah mahasiswa, di mana pergantian penghuni terbilang cepat. “Biasanya, penghuni yang pindah akan meletakkan barang yang dibuang di depan rumah. Tiap malam, saya dan Kang Emil rajin berkeliling, memulung barang yang bisa kami bawa ke rumah. Ada sofa, kami angkut. Ha ha ha.”

    Hasuna Daylailatu

    Selanjutnya: Simak kelanjutan kisah Lia Ridwan Kamil, mengenai rahasia berpelukan untuk keluarga serta kegiatannya di PKK.

    source: Tabloid Nova

    Apresiasi

    Inspirasi

    Media