Setelah penjajahan Belanda berakhir pada tanggal 8 Maret 1942, Indonesia pun jatuh ke tangan pemerintah pendudukan Jepang. Kedatangan tentara Jepang ke Indonesia yang pada mulanya disambut dengan baik oleh rakyat karena dianggap sebagai pembebas dari penjajahan Belanda, pada sekitar tahun 1944 mulai menimbulkan kebencian rakyat karena berbagai tindakan yang dilakukannya telah mengakibatkan kesengsaraan. Akibatnya, muncul perlawanan-perlawanan rakyat di berbagai tempat.
Sementara itu, pada tahun 1944 kekalahan-kekalahan sering dialami tentara Jepang dalam Perang Asia Timur Raya yang dikobarkannya sehingga menjadikan situasi di Jepang sendiri mulai memburuk dan moral rakyat Jepang mulai mundur. Selanjutnya pemerintah pendudukan Jepang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan dengan harapan bangsa Indonesia membalas janji itu dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan terima kasihnya.
Ketika Jepang sudah semakin terdesak oleh Sekutu, pada tanggal 7 Agustus 1945 penguasa militer Jepang di Saigon mengumumkan terbentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk mempersiapkan negara Indonesia yang merdeka. Kemudian pada tanggal 9 Agustus 1945 Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, Dr. Suharto, Letnan Kolonel Nomura, dan Miyoshi pergi dari Jakarta ke Singapura, kemudian dilanjutkan ke Saigon, Vietnam.
Tanggal 11 Agustus 1945 Marsekal Terauchi, Panglima Tentara Umum Selatan yang menguasai semua tentara Jepang di Asia Tenggara, menerima kedatangan para pemimpin Indonesia dalam sebuah ruangan villa di Dalat pada pukul 11.40 waktu setempat. Dalam pertemuan itu Ir. Sukarno diangkat sebagai ketua dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil ketua PPKI. Disetujui pula bahwa rapat pertama PPKI akan diselenggarakari tanggal 18 Agustus 1945 dan kemudian kemerdekaan Indonesia akan diumumkan secara resmi.
Sementara itu, sebuah peristiwa yang mengubah sejarah telah terjadi pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 14 Agustus 1945 masyarakat dunia mendengarkan pengumuman Presiden Truman bahwa Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.15 para pemuda dari kelompok yang bermaskas di Jalan Prapatan 10 Jakarta dan lain-lainnya membawa Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta ke Rengasdengklok. Peristiwa tersebut merupakan usaha pemuda untuk meyakinkan para pemimpin bangsa Indonesia agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia tanpa bantuan dari pihak Jepang. Kemudian setelah melalui perundingan dan pembicaraan di Rengasdengklok serta kemudian di Jakarta, maka disusunlah naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia di tempat tinggal Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol no. 1 Jakarta.
Setelah naskah Proklamasi selesai disusun menjelang subuh tanggal 17 Agustus 1945, pada pagi harinya pukul 10.30 Waktu Jawa Zaman Jepang atau pukul 10.00 Waktu Indonesia Bagian Barat, teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Sukarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di kediaman Ir. Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia itu, maka berakhirlah masa pemerintahan pendudukan militer Jepang di Indonesia dan Indonesia memasuki babak baru sebagai negara merdeka.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, PPKI mengadakan sidang di bekas gedung Raad van Indie pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam sidang itu, ditetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD 1945), selanjutnya dipilih Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, serta membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Otto Iskandar di Nata yang akan bertugas menyusun rencana mengenai hal-hal yang perlu segera mendapat perhatian pemerintah Republik Indonesia.
Keesokan harinya, 19 Agustus 1945, Pemerintah berhasil menyusun 12 kementerian, antara lain Departemen Dalam Negeri yang dipimpin oleh R.A.A. Wiranatakusumah. Dalam Berita Negara RI 1945, disebutkan pula bahwa pada tanggal 19 Agustus 1945 itu, PPKI berhasil membentuk delapan provinsi yang dikepalai oleh seorang gubernur dan masing-masing provinsi terdiri atas keresidenan-keresidenan yang dikepalai oleh residen.
Kedelapan provinsi itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Kemudian diangkat para gubernur untuk mengepalai provinsi-provinsi yang dibentuk itu, yaitu Mr. R. Sutarjo Kartohadikusumo sebagai Gubernur Jawa Barat, R.P. Suroso sebagai Gubernur Jawa Tengah, R.M.T.A. Suryo sebagai Gubernur Jawa Timur, Mr. Teuku Moh. Hasan sebagai Gubernur Sumatera, Pangeran Mohhammad Nur sebagai Gubernur Borneo, Dr. G.S.S.J. Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi, Mr. J. Latuharhary sebagai Gubernur Maluku, dan Mr. I. Gusti Ketut Puja sebagai Gubernur Sunda Kecil.
Dengan demikian, Provinsi Jawa Barat lahir pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan Mr. R. Soetardjo Kartohadikoesoemo, yang waktu itu sedang menjadi Syucokan (Residen) Jakarta, sebagai Gubernur Provinsi Jawa Barat yang pertama dan berkedudukan di Jakarta. Kedudukan Gubernur Provinsi Jawa Barat pada bulan September 1945 pindah ke Bandung sehingga Bandung menjadi pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Pengangkatan Gubernur Jawa Barat dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia melalui surat keputusan tertanggal 19 Agustus 1945.
Tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan sebagai hari lahir Provinsi Jawa Barat, dikarenakan tanggal ini memenuhi persyaratan dilihat dari aspek legalitas, aspek historis, maupun aspek simbolis.
Dilihat dari aspek legalitas: PPKI waktu itu memiliki kedudukan yang sederajat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang waktu itu belum dibentuk) sehingga keputusannya memiliki kekuatan hukum yang sama dengan ketetapan MPR.
Selain itu, dilihat dari aspek historis, istilah Provinsi Jawa Barat secara faktual, baru muncul dalam Surat Keputusan PPKI tertanggal 19 Agustus 1945.
Selanjutnya dilihat dari aspek simbolis, pembentukan Provinsi Jawa Barat pada tanggal 19 Agustus 1945 memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jawa Barat karena wilayah administrasi pemerintahannya dibentuk dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, eksistensi Propinsi Jawa Barat dapat dipandang bukan sebagai produk kolonial, melainkan sebagai produk perjuangan dalam rangka merebut dan mempertahankan kedaulatan NKRI.
Sosial media